Bingkisan Untuk Guru = Gratifikasi?
Entah sejak kapan budaya ini ada. Apakah semata di lingkungan saya, atau memang sudah menjadi kebiasaan yang menular dan meluas; memberi bingkisan pada guru saat penerimaan rapor.
Loh, apa yang salah? Bukankah memberi itu berarti menanam kebaikan? Apalagi pemberian dilakukan pada guru yang notabene banyak berjasa pada anak kita. Memang benar, itu sah dan baik saja. Namun benarkah orangtua siswa terjamin tidak ada maksud lain dalam pemberian ini? Dan bagaimana dengan orangtua yang kurang mampu, adakah mereka tidak merasa minder jika tidak memberi. Juga adakah kekhawatiran anaknya kurang diperhatikan di sekolah, lantaran mereka juga kurang “perhatian” pada guru?
Ada pemandangan menarik saat saya mengambil rapor si sulung pekan lalu. Seorang bapak yang menggandeng anaknya masuk kelas, tampak tertegun karena mayoritas ibu-ibu disana menenteng bingkisan. Rapi dibalut kertas kado. Si bapak lantas urung masuk, lalu keluar demi menyiapkan dua lembar amplop berisi uang. “Nih, bilang ibumu untuk memberikan ke ibu guru…”
Dalam hati saya tertegun, ini sepertinya hampir mirip dengan gratifikasi. Memang, yang diterima para guru bukanlah mobil atau tiket jalan-jalan ke luar negeri.. tapi apakah benar para guru bisa bebas dari belenggu rasa terima kasih. Atau sederhananya, apakah pemberian ini benar-benar tidak mempengaruhi penilaian mereka terhadap siswa yang bersangkutan?
Semoga saja tidak. Saya masih yakin dan khusnudzon, para guru tetap pada profesionalitas mereka. Mendidik tanpa pamrih. Dan memperlakukan semua anak dengan sama, tanpa mempedulikan latar belakang orangtua mereka. Saya juga berharap, para orangtua pemberi bingkisan, berangkat dari niat tulus tanpa tendensi dalam memberikan bingkisan ini.
Saya sendiri, meski hampir seluruh orangtua murid membawa tentengan, memilih untuk datang ke kelas pembagian rapor berbekal senyum saja.
Memang harga bingkisan, atau angpau, tidak seberapa. Namun, saya ingin anak saya bersekolah tanpa harus dipengaruhi apa pun, termasuk besarnya harapan dan pamrih saya pada guru. Teringat ucapan salah satu teman yang anaknya terkena bullying di sekolah, lalu mengeluh, “Padahal Bu Guru sudah sering kuberi bingkisan..tapi nyatanya anakku tidak diperhatikan juga,”
Maka, apakah budaya pemberian bingkisan masih layak diteruskan, atau memang perlu ditinjau ulang? Kalaupun budaya ini dipandang baik, dan memang perlu, semoga semua pihak; baik guru maupun orangtua, membebaskan diri mereka dari tendensi. Dan tetap memberi penilaian bukan berdasarkan apa yang telah diberi, namun obyektif dari parameter yang memang layak nilai.