Ibu Lulusan SD vs Ibu Sarjana

0 369

Pernahkah kita mengenal, melihat atau mengetahui seseorang yang menjadi luar biasa, baik itu dalam bidang akademik maupun dalam bidang lainnya, dan ternyata ibunya “hanya lulusan SD”? Pernahkan kita juga mengenal, melihat atau mengetahui ibu yang sarjana namun anaknya penuh masalah dan tidak berkembang optimal?

Pertanyaan pun terlintas pada benak saya, apakah “syarat” menjadi ibu yang baik itu adalah tingginya pendidikan formal? Atau kalau di buat lebih luas, apa saja syarat untuk menjadi ibu yang baik?

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seolah-olah perempuan tidak perlu bersekolah atau berpendidikan tinggi. Tetap saja ada keuntungannya bersekolah tinggi, karena pendidikan pada dasarnya adalah membentuk cara berpikir yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada cara bertindak dan mengambil keputusan. Orang yang berpendidikan tinggi diajari untuk berpikir logis, analitis, sintesis, filosofis, kreatif, antisipatif, problem solving, dll.

Apakah pendidikan ibu berpengaruh pada kesuksesan anak?
Apakah pendidikan ibu berpengaruh pada kesuksesan anak?

Kemampuan-kemampuan ini yang dilatihkan dan dibiasakan selama ia kuliah, mengumpulkan data, membuat hipotesis dan mengujinya, membuat kesimpulan dan menyusunnya dalam bentuk karya ilmiah lalu mempresentasikannya. Kemampuan berpikir ini, bagaimanapun akan mendukungnya saat ia mengasuh dan mendidik anaknya.

Dengan kelengkapan berpikir yang dimiliki, seorang ibu dapat melakukan antisipasi secara logis bahwa bila terjadi peristiwa A maka akan muncul B. Kemampuan ini yang membuatnya dapat melakukan perencanaan dan tindakan yang tepat. Ia juga tidak menghindar ketika ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan “ajaib dan tak terduga” dan berusaha menjawab dengan logis sesuai kemampuan berpikir anak. Termasuk dengan kemampuan berpikir kreatifnya ia akan memikirkan ribuan cara untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kerewelan, kemanjaan, metode belajar, variasi kegiatan dll.

Orang yang memiliki kelengkapan berpikir ini apalagi dengan nilai yang tinggi, biasanya disebut cerdas (secara kognitif). Namun, kecerdasan tidak serta merta hanya milik orang-orang berpendidikan tinggi. Ada banyak orang cerdas yang tidak berpendidikan tinggi. Mereka tidak bersekolah bukan karena mereka tidak mau, tapi ada sejumlah alasan yang menyebabkannya, entah itu ekonomi, budaya, kesempatan dan penyebab lainnya.

Bagaimana pun adalah menguntungkan memiliki ibu yang cerdas secara kognitif. Tapi, apakah hanya kecerdasan secara kognitif saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu yang baik? Tidak juga ternyata.

Ada kepekaan, kepedulian dan kemampuan berespon (kecerdasan interpersonal) yang juga dibutuhkan dan sayangnya ini tidak dipelajari di sekolah dan pendidikan tinggi. Sehingga juga tidak ada gelar atau titel bagi orang-orang yang memiliki kepekaan yang tinggi dan kemampuan berespon dan berinteraksi yang baik. Bagaimana pun kepekaan ini yang membuat seorang ibu bisa membedakan tangis anaknya, apa keinginan anak hanya dengan melihat ekspresi dan gestur wajah anak. Dan yang lebih penting dari itu bukan hanya bisa membaca saja, akan tetapi juga bisa berespon terhadap kebutuhan anak yang tidak tersampaikan. Bagaimana ia bisa mengusap, memeluk dan menggendong anaknya dengan nyaman.

Biasanya kepekaan terasah karena interaksi yang intens sementara kemampuan berespon terbentuk karena pola asuh dan pendidikan dalam keluarga si ibu sebelumnya.

Kesabaran, kemampuan mengendalikan diri, selalu berusaha dan tidak mudah putus asa (kecerdasan intrapersonal) adalah juga modal penting menjadi seorang ibu yang baik. Ibu yang memiliki kecerdasan ini, selalu berusaha sekalipun menghadapi kesulitan. Ia mungkin jatuh, tapi ia akan bangkit lagi untuk mencapai tujuannya. Ia akan berusaha mencari makna dari apa yang dialaminya dan menjadikannya pembelajaran untuk memahami dirinya sendiri.

Saya yakin ada kemampuan-kemampuan lain yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu yang baik. Ibu yang pintar masak (kecerdasan kinestetik), ibu yang pintar mendongeng (kecerdasan verbal), ibu yang pintar merapikan rumah (kecerdasan visual) adalah kecerdasan-kecerdasan yang luar biasa dan menyempurnakan “kebaikan” seorang ibu.

Sayangnya, tak ada orang yang sempurna. Ada saja yang kurang pada diri seseorang, meskipun pasti ada lebihnya. Yang jelas, bahwa kita tidak bisa menyederhanakan “kebaikan” dan “kelayakan” seorang perempuan untuk menjadi ibu hanya dari pendidikan formalnya atau seberapa panjang gelar akademik yang disandangnya.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan sederhana yang tak lulus SD dan tinggal di pelosok negeri.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang tak dikaruniai anak kandung.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga atau baby sitter.

Dan tentu saja potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang berpendidikan tinggi.

Mau bukti? Saya punya contoh untuk semuanya. Dan saya yakin anda juga, kalau anda lebih cermat melihat ke sekeliling anda.

*Syukuri bila anda perempuan berpendidikan tinggi, sehingga berpeluang mendidik anak lebih baik. Tapi jangan rendahkan para perempuan yang berpendidikan rendah, karena boleh jadi dari tangan mereka lahirnya orang-orang yang luar biasa.

Sumber Tulisan:

Bunda Yeti Widiati S. 130915 dalam akun pribadi Facebook beliau dengan beberapa perubahan redaksional.

Loading...
Tinggalkan komentar