Wanita itu Tak Perlu Sekolah Tinggi. Suara Hatiku Berkata Lain.

0 128

Sempat aku berfikir untuk menyerah hingga mengubur semua mimpi-mimpiku. Deretan 100 daftar mimpi yang aku pasang di sudut dinding kamarku, pun pernah aku bakar hingga hanya tersisa debu saja.

Alasannya sederhana.

Pernahkah kamu mendengar saat argumentasi masyarakat sekitarmu sepakat mengucapkan bahwa kasur pada akhirnya akan menjadi satu-satunya tempat perempuan berlabuh? Lalu kemudian pernyataan tersebut mereka lanjutkan dengan kalimat “ujung-ujungnya juga diam di dapur dan di sumur.”

“Ah! Aku rasa pernyataan seperti ini tidak hanya pernah kamu benar, tapi sering, iya ga?. Tenang, kita sama kok hehe..”

Kata-kata seperti itulah yang terkadang membuatku down untuk tetap melangkah. Terlebih, ucapan seperti itu tidak hanya aku dengar dari orang lain, tetapi juga dari keluarga, bahkan dari orang tuaku sendiri.

Ya, lahir ditengah masyarakat pedesaan dengan kondisi ekonomi yang rata-rata pas-pasan, pada akhirnya menjadi salah satu latar belakang mengapa pendidikan bagi penduduk di daerah kami tidaklah penting. Hingga detik ini bahkan, lulusan SMA di daerahku masih terbilang jarang.

Kebanyakan dari masyarakat kami memutuskan menikah di usia muda. Mayoritas dari kami berprofesi sebagai buruh prabrik. Melihat kondisi seperti ini, ingin rasanya aku mengubah mindset warga bahwa pendidikan bisa menjadi salah satu senjata untuk mengubah hidup mereka.

Namun aku tahu, semua itu harus aku buktikan bukan dengan cara mendoktrin apalagi memaksa mereka untuk sekolah. Semua itu harus aku mulai dari diri aku sendiri, dan aku buktikan melalui pencapaian aku sendiri.

Berangkat dari dorongan motivasi tersebut, sejak lulus SMA bahkan belum mendapatkan ijasah, aku mendatangi sekolah dasar tempatku menimba ilmu dahulu. Tujuannya sederhana, ingin mengajarkan Bahasa Inggris pada siswa-siswi disana meski tanpa bayaran.

Aku ingat betul ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Kami sama sekali tidak memiliki guru bahasa Inggris yang memang ahli di bidangnya. Beberapa guru bahkan sering mengganti jam pelajaran Bahasa Inggris dengan pelajaran lainnya.

Hal ini membuatku asing dengan bahasa Inggris ketika memasuki SMP. Oleh karena itu, aku mengisi waktu luangku yang menunggu pengumuman universitas sambil mengajar Bahasa Inggris di sekolah.

Aku juga membuka les bahasa Inggris di rumah untuk anak-anak di daerahku. Kebetulan ayahku seorang guru mengaji, hingga ia memiliki alat-alat mengajar seperti papan tulis lengkap dengan kapurnya.

Dengan demikian peralatan  itu aku manfaatkan untuk berbagi ilmu dengan generasi Indonesia yang bakatnya masih tersembunyi.

Waktu berlalu hingga tak terasa pengumuman itu tiba. Aku sempat ragu bisa diterima di universitas tujuanku. Apalagi, menurut Akong.com, siswa biasanya disibukkan dengan soal-soal try out dan UN.

Dengan kata lain, ini menjadi salah satu penyebab kegagalan diterimanya siswa di universitas, yakni  karena siswa lebih mengenal soal-soal UN dan tidak diperkenalkan dengan soal-soal tes masuk universitas.

Sontak hatiku semakin gemetar mengingat aku hanya sempat beberapa hari mempelajari soal-soal tes masuk universitas.

Namun, rasa deg-degan itu berubah menjadi bahagia tak kala aku melihat langsung namaku tercantum sebagai salah satu siswi yang diterima di perguruan tinggi negeri di UIN SGD Bandung.

Namun kebahagiaanku saat itu tak lengkap, mengingat orangtua masih setengah hati mengizinkanku untuk kuliah. Lagi-lagi alasannya adalah, perempuan di desa tak perlu bermimpi terlampau tinggi. Lebih dari itu, orang tua juga tidak yakin bisa membiayai kuliahku.

Sejak saat itu aku berniat dalam hati. “Kuliah ini adalah keinginanku, biarkan resikonya aku tanggung sendiri”.

Berawal dari niat kuat tersebut, aku kembali melangkah dengan keyakinan Tuhan akan membantuku. Dan benar saja, aku mendapatkan beberapa pekerjaan partime yang membuatku bisa membiayai kuliah sendiri hingga berhasil meraih gelar S.Hum.

Pencapaian yang biasa mungkin bagi sebagian orang. Apalagi, sarjana saat ini semakin menumpuk saja.

Namun yang berkesan bagiku adalah prosesnya.

Tidak mudah membagi waktu dan fikiran antara profesi sebagai mahasiswi dengan profesi sebagai pekerja. Apalagi pekerjaan yang aku geluti saat itu beragam. Mulai dari tour leader, penulis artikel online, guru private, hingga SPG.

Profesi yang tak pernah aku lupakan pahitnya hingga saat ini adalah ketika menggeluti profesi sebagai SPG. Masyarakat acap kali berfikir negatif tentang profesi ini. Apalagi profesi ini menuntut aku untuk berdandan full hingga pulang larut malam.

Namun, bagiku itu menjadi hal yang biasa. Ya, biasa, karena berjalan kaki di malam hari menuju rumah karena kehabisan ongkos, itu juga hal biasa bagiku.

Aku tetap percaya Tuhan Maha Baik dan pertolongannya pasti selalu ada. Dan berkat keyakinan itu pula, sedikit demi sedikit aku berhasil mengubah mindset warga mengenai pendidikan.

Berawal dari mengetahui bahwa aku mendapat banyak tawaran pekerjaan mengajar meski posisiku masih mahasiswa, disitu beberapa sepupu sebayaku mulai mempertanyakan tips-tips agar bisa seperti itu.

Simple saja, pekerjaan sebagai guru di desa biasanya dianggap pekerjaan yang “wah” dan memiliki jenjang karir yang cerah.

Aku tahu itu, itu sebabnya aku memilih profesi mengajar, yakni untuk menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pekerjaan ini, kita harus berpendidikan. Selain itu, aku juga senang berbagi ilmu melalu mengajar.

Dengan demikian, saat mereka bertanya apa tipsnya, jawabku juga sederhana “kuliah”.

Sejak itu pula, beberapa orang tua dari sepupuku mulai mendaftarkan anaknya ke beberapa universitas. Tidak hanya mereka, beberapa warga juga mulai meminta rekomendasi mengenai universitas yang pas untuk anaknya kelak.

Bahagia? Pasti.

Saat itu aku berusaha menunjukkan pentingnya pendidikan secara tidak langsung, namun alhamdulillah respon masyarakat cukup baik, hingga aku berani merangkul secara langsung.

Ya, keinginan itu semakin kuat, apalagi setelah lulus sidang skripsi bahkan sebelum mendapatkan ijasah  S1, guru SMA ku menghubungiku dan menawariku mengajar di SMA tempat aku menimba ilmu dulu.

Bergelut didunia pendidikan pada akhirnya membuatku dipertemukan dengan seorang guru yang mengajar di sekolah yang berbeda namun memiliki semangat yang tinggi membangun desanya.

Dengan demikian, kami bekerja sama mengajak warga mengikuti program paket A, B, dan paket C. Namun jelas, setiap langkahku adalah berasal dari dorongan dan arahan darinya.

Dan aku senang, saat ini beberapa remaja memintaku untuk mengajarinya. Warga yang mengikuti program paket A,B dan C juga lumayan banyak.

Beberapa warga memang masih dengan argumennya bahwa pendidikan itu tidak penting. Namun biarlah, kupikir waktu dan kesabaran tentu akan mengubah mindset itu secara perlahan.

Setidaknya, beberapa dari warga  mulai membuka diri untuk pendidikan. Bahkan orang tua aku sendiripun kini sangat mendukung aku dan adik-adik untuk kuliah.

Alhamdulillah, dorongan orang tua tersebut pada akhirnya membawaku lulus seleksi beasiswa LPDP jenjang S2. Semuanya masih butuh proses sih guys, saat ini aku masih berjuang mendapatkan LOA dari universitas tujuan, doanya saja ya..

Pada intinya adalah, jangan pernah berhenti melangkah selama kamu yakin bahwa yang kamu lakukan itu tidak salah.

Sepenuhnya percayalah pada Tuhan dan jangan pernah dengarkan apa kata orang. Cukup fokus pada apa kata Tuhan, dan bagaimana pandangan-Nya.

Kalau kata Ridwan Kamil yang aku jelaskan dengan kata-kata aku sendiri, hehe, pendidikan memang bukan satu-satunya jalan mendapatkan pekerjaan, tapi setidaknya, pendidikan bisa membuatmu bebas memilih pekerjaan.

Dan terkhusus untukmu girls,

Cuek saja saat mereka berkata “Cewek itu ujung-ujungnya dikasur, dapur dan sumur”.

Girls, suatu saat nanti kamu bakal menikah dan memiliki anak. Perlu kamu ketahui bahwa sebaik-baiknya guru bagi anak adalah orang tuanya sendiri.

Justru karena kamu bakal lebih sering dirumah ketimbang suami, itu sebabnya kamu yang bakal lebih berpengaruh bagi masa depan anakmu kelak.

Pendidikan juga bukan berarti merupakan alat untuk menyaingi kaum pria, tidak sama sekali. Bukankah dibalik pria yang hebat juga ada wanita yang hebat pula?

Bukankah Tuhan juga tidak pernah berkata bahwa mengejar ilmu itu hanya diwajibkan bagi pria saja? Tidak bukan? That’s why, tetap melangkah dan jangan pernah membatasi dirimu untuk bermimpi..

Loading...
Tinggalkan komentar