Bagaimana Mengatasi Anak Kecanduan Game? Ini Tipsnya!

0 181

Anak Anda seringkali lupa waktu ketika sudah bermain game komputer / gadget lainnya? Bisa jadi mereka sudah ketagihan. Bagaimana cara mengatasi anak kecanduan game tersebut?

Cara mengatasi anak kecanduan game sebenarnya tidak mudah. Butuh peran aktif kita sebagai orangtua untuk ikut andil menyelesaikannya. Bukan hanya sekedar perintah untuk melarang, tetapi lebih dari itu. Keikutsertaan memahami latar belakang mereka bermain game tersebut.

Seringkali, anak-anak hendak melupakan masalah yang terjadi dengan cara mencari kegiatan yang bisa melupakan hal tersebut.

Lebih detail tentang cara mengatasi anak kecanduan game, bisa dibaca tulisan dari Bunda Yeti Widiati berikut ini.

Sebentar ….. jangan langsung ngebul ketika melihat anak kecanduan main game. Boleh jadi ada informasi yang bisa kita peroleh dari games apa yang dipilih anak (atau bahkan orang dewasa) yang mereka mainkan berulang-ulang.

Informasi ini akan berguna bagi kita para orang dewasa untuk membuat rencana penanganan yang lebih efektif, daripada hanya sekedar melarang atau membatasi penggunaan video games.

Menurut saya (dari hasil pengamatan), semua kecanduan, entah itu kecanduan games, merokok, minuman keras, belanja, belajar, bekerja, narkoba, seks, bahkan makan sekalipun berkait dengan adanya hal yang “kurang” pada diri seseorang.

Perilaku adiksi / kecanduan yang dilakukan, sebetulnya adalah upaya untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya alih-alih berhasil menyelesaikan masalah malah memperburuk masalah atau bahkan menimbulkan masalah baru.

Menimbulkan masalah kesehatan, fokus, managemen waktu, relasi sosial, emosi, dll. Akhirnya jadilah seperti lingkaran setan yang tidak berakhir.

“Kekurangan” yang menjadi latar belakang terjadinya kecanduan bermain game, bisa berupa:

  • Kurang perhatian, penghargaan dan kasih sayang dari orangtua
  • Kurang pengaturan sistem, managemen waktu, disiplin dan pengkondisian positif yang disusun oleh orangtua
  • Anak kurang memiliki kemampuan kendali diri, emosi dan dorongan
  • Anak kurang luas minatnya dan kurang memiliki alternatif kegiatan produktif (dipengaruhi orangtua)
  • Anak kurang percaya diri, konsep diri rendah, kurang berteman
  • Dan kurang-kurang lainnya

Ragam jenis video games itu luar biasa banyak dengan karakteristik yang berbeda. Dari mulai untuk balita sampai dewasa, perempuan atau laki, yang fun, berpikir, petualangan, olah raga, kekerasan, dll.

Jadi ada yang memang dibuat serius dengan tujuan spesifik, dan ada yang lebih ringan dari itu.

Yang jelas, hampir semua games dirancang sedemikian rupa agar orang tertarik memainkannya. Melibatkan semua sensori (multimedia).

Oleh karena itu, mengapa games dibuat dengan warna yang menarik, suara yang exciting, menyita perhatian dan kinestetik.

Hal-hal semacam ini yang justru tidak dilakukan oleh para orangtua dan guru, dalam proses belajar mengajar di rumah maupun di sekolah, sehingga metode pembelajaran cenderung minimalis dan searah.

Tak ayal, anak menjadi bosan dan mencari cara lain yang menurut mereka lebih menyenangkan dan mengasyikkan.

Kalau guru dan orangtua marah-marah karena anak tidak belajar, semakin kekal-lah asosiasi bahwa belajar itu adalah kegiatan yang tidak menyenangkan.

Games yang relatif paling cepat membuat kecanduan biasanya adalah games online. Karena rancangannya yang dibuat “menggantung”. Tidak pernah jelas kapan bisa menang.

Seperti konsep peluang kemenangan dalam berjudi. Satu kali kebetulan menang, selanjutnya kalah terus. Tidak ada pola yang bisa diikuti supaya peluang menang lebih besar.

Karena sering kalah namun pernah menang, maka hal ini akan mendorong anak-anak untuk memainkannya lagi dan lagi.

mengatasi anak kecanduan game
Cara mengatasi anak kecanduan game.

Bagi anak-anak dengan ragam “kekurangan” tadi, maka merekalah yang akan paling rentan terjebak oleh ‘permainan’ games.

Seperti saya sampaikan di atas, maka pilihan jenis atau tema games bisa menjadi informasi bagi para orangtua, mengenai apa sebetulnya “kekurangan” yang dialami anak.

Untuk analisis mendalam, memang dibutuhkan orang yang profesional. Tapi sebagai orangtua atau pun guru, juga bisa melakukan sesuai dengan kemampuannya untuk mengambil tindakan awal.

Anak-anak yang memiliki konsep diri rendah (dan ini cukup banyak). Jarang atau bahkan tidak pernah berprestasi, berpeluang mencari games yang murah hati memberikan “reward”.

Tidak judging, selalu memberi semangat. “Gak ada matinya”. Kalau salah boleh main lagi tanpa batasan.

Kata-kata, Excellent, Good Job, Superb, dll yang “diucapkan” dengan suara bersemangat oleh games, akan menjadi kepuasan tersendiri bagi anak dan juga “memberikan” pengakuan kepada kemampuan dirinya.

Anak-anak yang di dunia nyata tidak memperoleh prestasi atau membuat pencapaian, akan mencari pengakuan itu di dunia maya melalui games yang royal memberikan hadiah dan pujian maya baginya.

Sedikit banyak, cara ini membuat anak memperoleh kepuasan sementara dari kenyataan hidup yang membuatnya kurang nyaman.

Dan ketika ketidak-nyamanan itu muncul lagi, misalnya, saat ia dimarahi guru karena tidak buat PR. Dimarahi orangtua karena nilai pelajarannya rendah, dst, akan mendorong anak untuk kembali terjerat dalam jebakan lingkaran setan video game.

Menikmati candu pujian, skor yang meningkat, kepuasan yang bersifat maya. Anak memunculkan “ego state” menghargai dan mengapresiasi dalam wujud games.

Sekaligus juga skema untuk menyelesaikan masalah. Dilematis, di satu sisi skema ini menyelesaikan masalah untuk jangka pendek, namun di sisi lain tidak menyelesaikan bahkan memperburuk masalah.

Sehingga boleh dikatakan bahwa cara ini adalah menyelesaikan “masalah dengan masalah”.

Dengan keterbatasan kemampuan berpikir anak, maka sebetulnya hal ini bisa dipahami. Sehingga sebetulnya orangtua lah yang berperan untuk mencontohkan dan mengajarkan bagaimana cara penyelesaian yang lebih tepat.

Ketik anak masih balita, maka penyelesaian masalah alami yang mereka lakukan adalah dengan bermain peran. Mereka membuat percakapan antara cangkir dan gelas mainannya, atau antar boneka-bonekanya, atau antara dirinya dengan kucing, misalnya.

Personifikasi benda (membuat benda menjadi manusia hidup) adalah hal umum dan alamiah pada usia ini. Melarang anak bermain peran menjadi kontraproduktif dengan tujuan besar yang diharapkan.

Dalam Psikodrama, bermain peran disusun menjadi teknik terstruktur untuk pencapaian tujuan terapi dengan mengelola ego state-ego state yang saling berkonflik. (Ego state adalah mini personality yang ada pada setiap orang)

Nah, pada anak yang usianya sudah lewat balita, ego state bisa “didamaikan” dengan cara yang lebih variatif.

Setiap manusia akan mencari pengakuan dan penerimaan dari orang-orang di sekitarnya. Anak yang beruntung memperoleh pengakuan dan penerimaan itu, dari orangtuanya yang mengekspresikan penerimaan dalam bentuk ucapan, ekspresi, sentuhan atau perilaku secara konvergen (match dengan perasaan).

Sebagian anak yang lain, harus berusaha keras untuk memperoleh pengakuan dan penerimaan orangtua, misalnya dengan sikap selalu patuh, pencapaian prestasi akademik atau prestasi lainnya yang dikira anak akan membuat orangtua senang dan bangga, sehingga memberikan pujian.

Dan sisanya adalah anak-anak yang frustrasi karena merasa tidak memperoleh pengakuan dan penerimaan dari orangtua. Baik secara fisik, sifat, pilihan maupun prestasi.

Sudah belajar habis-habisan pun mereka tidak pernah mendapat peringat 3 terbesar di kelas.

Akhirnya, shortcut yang dilakukan adalah memunculkan perasaan berharga melalui pengakuan dan apresiasi yang lain.

Dan video games yang “murah hati” memuji, memberikan itu semua. Anak pun terbius dengan skor yang semakin meningkat, pujian Good, Excellent, Extraordinary.

Anak boleh salah dan “mati”. Ia selalu boleh “membeli” kembali nyawanya. Ada harapan yang selalu diberikan.

Itu kan semua maya? Betul, tapi bagi anak-anak ini semua dirasakan seolah nyata. Memberikan kesenangan sementara, melupakan kedukaan, sakit hati, dan kepedihan karena kegagalan dan pengabaian sehari-hari.

Ketika mereka dipaksa menghadapi kenyataan yang menyakitkan, maka mereka akan kembali mengharapkan kesenangan maya ini. Mirip dengan cara kerja narkoba ya.

Nah, bila kita ingin mengatasi anak kecanduan game, maka saya mengajak kita untuk mengecek lagi:

  1. Apa sebetulnya yang dihayati anak terhadap hubungan dengan orangtuanya?
  2. Bagaimana penerimaan kita terhadap anak apa adanya?
  3. Apakah kita menunjukkan penghargaan dan pengakuan pada anak kita?
  4. Apakah kita menawarkan alternatif aktivitas beragam terutam “We Time” bersama anak yang berkualitas?
  5. Apakah kita memiliki konsep pendidikan yang jelas dan konsisten serta konsekuen melaksanakannya?
  6. Apakah kita mencontohkan, membantu dan membimbing anak agar dapat mengembangkan strategi pengendalian diri dan pengaturan waktu yang lebih efektif

Jadi, tak cukup mengatasi anak kecanduan game hanya dengan melarang/membatasi anak bermain games, bukan?

Note:
*Video games juga memiliki hal positif. Bahasan saya lebih kepada anak-anak atau orang yang kurang bisa memanage waktu dan menggunakan video games secara berlebihan sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan dalam hidup.

Yeti Widiati 16-300117

Loading...
Tinggalkan komentar