Sekolah Asrama, Memandirikan atau Justru Melumpuhkan?
Setiap orangtua tentu menginginkan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Termasuk memilih sekolah. Ada beberapa orangtua yang memutuskan untuk memasukkan anaknya di sekolah asrama. Apakah sekolah berasrama ini bagus untuk memandirikan anak atau justru melumpuhkan?
Pertanyaan tersebut coba diulas lebih mendalam oleh Bunda Yeti Widiati dalam tulisannya “Sekolah Asrama, Melumpuhkan atau Memandirikan?” Tulisan ini cukup menarik untuk diterbitkan dan menjadi pertimbangan bagi orangtua dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Berikut ulasan lengkap Bunda Yeti Widiati tentang Sekolah Asrama bagi anak-anak.
Pernah membaca buku “Mallory Towers”? Teman-teman seusia saya mungkin tahu beberapa seri buku karya Enid Blyton ini yang menceritakan lika liku hidup siswa ABG di sekolah asrama atau sering juga disebut Boarding School.
Bagi saya yang tumbuh di sekolah negeri konvensional, maka kehidupan berasrama itu menjadi sungguh menarik. Bagaimana menghadapi teman, guru, pelajaran, aturan-aturan, termasuk mengelola emosi, sedih, marah, iri, takut juga bosan.
Selain itu, juga mengembangkan kemampuan memotivasi diri, bertanggung jawab, mandiri, dan lain sebagainya.
Saya dulu suka membayangkan bagaimana rasanya hidup dalam suasana kebersamaan seperti itu dan juga nikmatnya memiliki sekolah dengan fasilitas yang baik sehingga minat dan bakat siswa bisa berkembang optimal.
Sekarang juga cukup banyak buku menceritakan kehidupan di sekolah asrama, yang paling hits tentunya petualangan Harry Potter bersama teman-temannya Ron dan Hermione di asrama Hogwarts.
Sementara buku yang bercitarasa lokal misalnya “Negeri Lima Menara” tentang 5 santri laki-laki yang menuntut ilmu di Pesantren Modern Gontor di Jawa Timur.
Belasan tahun terakhir jumlah sekolah asrama memang mengalami peningkatan, baik yang bercirikan agama maupun yang umum. Nampaknya, sekolah asrama dipandang sebagai alternatif yang cukup realistis bagi banyak orangtua hari ini.
Ada banyak alasan orangtua menyekolahkan anaknya di sekolah asrama, antara lain:
- Ingin anak lebih mandiri
- Ingin anak memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang tidak bisa diberikan orangtuanya (ilmu agama, pengetahuan/ketrampilan tertentu, disiplin, kebiasaan, dll)
- Ingin anak memperoleh lingkungan belajar yang baik, sehingga fokus belajar
- Tak ada sekolah yang dipandang ‘baik’ di lingkungan rumah anak
- Orangtua tidak bisa mendampingi karena sibuk bekerja
- Mengubah perilaku anak yang tak bisa diubah oleh orangtuanya
- Dan masih banyak lagi alasan lainnya
Apakah sekolah berasrama bisa menjamin bahwa anak memperoleh semua yang orangtua inginkan?
Belum tentu juga.
Menurut saya, setiap sekolah memiliki kerentanan sekaligus juga peluang untuk dapat mengembangkan kemampuan anak kita. Kita tidak bisa mengatakan bahwa sekolah jenis A pasti lebih baik daripada sekolah jenis B.
Bila anak adalah tanaman, maka sekolah adalah tanahnya. Tanaman bisa tumbuh lebih baik bila ditanam pada jenis tanah tertentu. Anak yang tidak berprestasi di sekolah berasrama belum tentu dia juga pasti gagal di sekolah lain, dan demikian pula sebaliknya.
Hal yang saya kira perlu menjadi pertimbangan para orangtua sebelum memasukkan anaknya ke sekolah asrama adalah, bahwa sekolah apa pun tidak bisa memenuhi SEMUA aspek perkembangan anak.
Ada area yang tetap menjadi tanggung jawab orangtua berupa pondasi sikap, perilaku dan karakter yang sudah ditanamkan. Sekolah asrama hanya melanjutkannya saja.
Oleh karena itu dibutuhkan kemandirian minimal sebelum anak masuk sekolah asrama.
1. Keterampilan bantu diri (Self help skill) sesuai usianya
Membersihkan diri, mengatur/menjaga barang, memanage waktu dan cara belajar, menyiapkan makanan dan pakaian, membersihkan ruangan, menjaga kesehatan, dll.
Memfasilitasi anak berlebihan dalam area ini dengan alasan agar anak fokus belajar, menurut saya sangat berisiko. Orangtua yang berusaha memenuhi kebutuhan makanan, pakaian atau barang-barang anaknya.
Atau sekolah asrama yang menyediakan fasilitas laundry, cleaning service, catering dan fasilitas kenyamanan yang berlebihan, berpeluang menyebabkan anak menjadi hanya pintar akademik tapi canggung dalam bertindak, karena kurang belajar mengenai ‘proses’.
2. Ketrampilan sosial (interpersonal)
Kemampuan adaptasi dalam lingkungan baru, berteman, komunikasi, mengatasi konflik, leadership, menghadapi otoritas (guru, senior, dll), empati dan peduli, menolong orang lain, bekerja sama, kompetisi sehat, dll.
Sebagiannya memang akan dikembangkan saat anak bersekolah. Namun fondasi dasarnya sudah tuntas sebelum anak masuk sekolah.
3. Mengelola emosi (intrapersonal)
Mengekspresikan emosi secara adaptif, disiplin, bertanggung jawab, mengikuti aturan, mendorong/memotivasi diri, menghandle kebosanan, dan lain sebagainya.
Masalah underachivement (tidak berprestasi sesuai potensi) kebanyakan disebabkan karena masalah emosi.
Anak yang terlalu cemas, takut, marah, tidak mampu memotivasi diri, tidak disiplin, menjadi sulit fokus, mudah lupa, daya tangkap lambat, yang semua menyebabkan ia menjadi sulit belajar dan berpikir.
4. Problem solving (Pemecah masalah)
Yang saya maksud dengan problem solving atau kemampuan memecahkan masalah, bukan hanya terkait dengan akademik, namun justru lebih mengenai keseharian.
Anak tidak harus sudah bisa menyelesaikan semua masalah, tapi paling tidak dia tahu langkah-langkah penyelesaiannya. Poin ini sangat mungkin beririsan dengan 3 poin di atas.
Tapi mengapa saya buat poin tersendiri? Agar menjadi concern para orangtua untuk menyiapkannya sebelum anak masuk ke sekolah berasrama.
Tentunya kemandirian minimal ini juga dibutuhkan untuk anak-anak yang masuk sekolah biasa (bukan berasrama). Bahkan, untuk anak-anak yang orangtuanya memilihkan homeschooling. Akan tetapi, masing-masing jenis sekolah tersebut memiliki titik berat yang berbeda-beda.
Bila kemandirian minimal tidak tercapai, maka peluang masalah akan lebih banyak dan ongkos emosi anak, orangtua dan guru juga akan lebih besar. Alih-alih keuntungan yang diperoleh, malah masalah berlarut-larut yang didapatkan.
Di sekolah asrama, anak memperoleh “otoritas” mengatur dirinya lebih besar dibandingkan jika dia masih berada di keluarganya.
Oleh karena itu, betapa penting mempersiapkan anak untuk siap menerima konsekuensi dari otoritas yang lebih besar tersebut dan mengubahnya menjadi keuntungan positif.
Tulisan Bunda Yeti Widiati 31-040517