Mau Tahu Cara Mengendalikan Emosi? Kenali Dulu Emosi & Reaksinya

0 227

Gimana sih cara mengendalikan emosi kita? Selalu ingin marah-marah terus, lama-lama bisa jantungan nih… Atau tiba-tiba muncul perasaan sedih, kecewa, takut, tanpa mengerti bagaimana bisa mengkontrolnya.

Sebagai manusia, tentu kita tak bisa lepas dari yang namanya emosi tersebut. Itu salah satu sifat yang ada pada diri kita.

Sebenarnya, banyak cara yang bisa dilakukan agar emosi bisa terkendali.

Untuk hal yang mendasar, alangkah baiknya, kita mengenal tentang emosi dan reaksinya lebih mendalam agar tahu cara mengendalikan emosi tersebut.

Ada 6 emosi primer pada manusia, yaitu marah (anger), jijik (disgust), takut (fear), bahagia (joy), sedih (sadness), dan terkejut (surprise) (Ellsworth 2013). Setiap emosi tersebut adalah wajar dan alamiah serta memiliki pesan tertentu.

[nextpage title=”Mengenali Emosi & Reaksinya” ]

  • Marah adalah perasaan yang muncul karena terancam. Ada keinginan untuk melindungi diri dengan berusaha melawan ancaman besar tersebut.
  • Jijik adalah perasaan yang muncul karena tidak suka dan ingin menghindari obyek yang menimbulkan rasa jijik.
  • Takut seperti juga marah, adalah perasaan yang muncul karena terancam. Namun karena menyadari tidak cukup kuat, maka cenderung menghindar atau menjauhkan diri dari obyek yang menimbulkan rasa takut.
  • Bahagia adalah perasaan yang muncul karena keinginan yang tercapai.
  • Sedih adalah perasaan yang muncul karena perpisahan atau kehilangan. Tujuan dari perasaan ini adalah ingin mendekatkan atau menemukan kembali yang terpisah/hilang itu.
  • Terkejut adalah perasaan yang muncul karena sesuatu yang tidak terduga atau di luar perkiraan.

Pemahaman mengenai emosi dasar ini penting agar kita tahu bagaimana berespon terhadap reaksi emosi diri sendiri dan orang lain, secara tidak langsung sebagai cara mengendalikan emosi itu sendiri.

Hal yang perlu dipahami juga adalah mengenai bentuk-bentuk reaksi emosi sebagai salah satu cara mengendalikan emosi. Berikut contoh yang “sama” agar memudahkan pemahaman.

1. Reaksi Primer Adapatif

Seorang anak balita laki-laki kehilangan mainan mobil-mobilannya. Ia menangis karena mobil-mobilan tersebut adalah mainan kesayangannya.

Menangis adalah reaksi primer adaptif terhadap kehilangan mainan.

Mengenali Emosi & Reaksinya sebagai salah satu cara mengendalikan emosi
Mengenali Emosi & Reaksinya sebagai salah satu cara mengendalikan emosi

Reaksi primer adaptif membuat seseorang menyadari perasaannya sehingga ia dapat mengalirkan emosinya dengan wajar, membuatnya segera stabil dan mengembangkan kemampuan problem solving yang lebih baik sesudahnya.

Respon lingkungan yang diharapkan adalah Acceptance, terima dengan cara:

  • mendengarkan keluhannya
  • memeluk
  • dan memberikan kata-kata dukungan dan jaminan rasa aman

Hindari:
– merendahkan keluhannya
– mengabaikan
– menasihati
– memarahi

2. Reaksi Primer Maladaptif

Seorang anak balita laki-laki kehilangan mainan mobil-mobilannya. Ia mengamuk melempar dan merusak mainan serta barang-barang lainnya juga memukul dan menendang orang-orang di sekitarnya.

Mengamuk adalah reaksi primer maladaptif terhadap kehilangan mainan.

Reaksi maladaptif seringkali terjadi karena contoh yang buruk atau karena respon yang salah dari lingkungan. Misalnya, ketika anak diabaikan emosi primernya, maka ia akan menuntut untuk diperhatikan dengan cara yang salah.

Oleh karena itu, selain melakukan respon yang sama seperti terhadap reaksi primer adaptif, meminta maaf kepada anak juga diperlukan.

[/nextpage]

[nextpage title=”Cara Mengendalikan Emosi” ]

3. Reaksi Sekunder

Seorang anak balita laki-laki kehilangan mainan mobil-mobilannya. Ia menangis, tapi ayahnya berkata, “Laki-laki harus kuat, tidak boleh menangis”. Karena perkataan ayahnya tersebut, ia merasa malu dan kesal pada dirinya.

Malu dan kesal ini adalah reaksi sekunder terhadap perasaan sedih yang merupakan emosi primernya.

Dalam konteks konsultasi, kebanyakan reaksi yang ditampilkan adalah reaksi sekunder yang sudah beranak-pinak. Seorang terapis bertugas membantu klien mencari akar primernya terlebih dahulu sehingga klien dapat menuntaskan masalah yang dihadapinya.

Misalnya, seorang suami yang berselingkuh karena merasa istrinya terlalu dominan di rumah. Bisa jadi berakar dari emosi primer suami yang takut dan marah harga dirinya sebagai laki-laki terancam oleh istrinya.

Atau, seorang istri yang sangat pencemburu kepada suaminya mengatakan bahwa itu dilakukan karena cinta, padahal primernya adalah karena ia sangat takut kehilangan orang yang memberikan rasa aman.

4. Reaksi Instrumental

Seorang anak balita laki-laki kehilangan mainan mobil-mobilannya. Ia menangis dan ibunya datang memeluk serta membujuknya, “Sini-sini sama bunda, ade mau eskrim?”

Berulang kali setiap ia mengalami kesakitan, kesulitan atau kehilangan, ibu atau orang di sekitarnya akan membujuknya dan menyelesaikan masalahnya. Akhirnya anak belajar bahwa kalau ia menangis, maka ia akan mendapat apa yang diinginkannya.

Reaksi instrumental adalah reaksi yang tidak murni dan tidak tulus. Terbentuk karena proses belajar, dan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Ini bisa terjadi pada anak hingga dewasa.

  • Laki-laki yang berulang kali minta maaf sambil berurai air mata setelah berselingkuh akhirnya diterima kembali oleh pacar atau istrinya.
  • Perempuan yang ngambek setiap ingin membeli satu barang, akhirnya dikabulkan permintaannya oleh suaminya.
  • Orang yang mudah marah hanya karena kesalahan kecil, membentuk kebiasaan ini karena dulunya selalu tercapai keinginannya setelah marah.
  • Anak yang mengamuk setiap meminta sesuatu, dia tahu bahwa kalau dikabulkan dia pasti akan memperoleh keinginannya. Orangtua dari anak ini biasanya sangat takut kalau anaknya marah-marah.
  • SPG yang tersenyum manis agar pembeli datang membeli barangnya.
Cara mengendalikan emosi seseorang
Cara mengendalikan emosi seseorang

Untuk memperbaiki reaksi instrumental, selain perlu ditemukan akar primernya, juga perlu melakukan reframing (mengubah cara pandang) dan juga edukasi agar seseorang memilih reaksi lainnya yang lebih adaptif.

Bila ada unfinished bussiness atau pengalaman traumatis, maka perlu dibereskan lebih dulu.

Semakin muda usia seseorang, maka semakin mudah untuk mengubahnya. Untuk orang dewasa yang cara pandangnya sudah mengeras menjadi belief atau bahkan value, maka mengubah reaksi emosi instrumental membutuhkan usaha lebih besar.

Untungnya, tidak seperti manusia yang terpaku pada hasil, maka Allah menilai pada usaha. Jadi …. berusaha saja dengan fokus pada tujuan perubahan.

Dari uraian di atas, semoga dipahami bahwa karena emosi itu adalah alamiah, maka menahannya tidaklah menunjukkan proses kendali yang sehat. Menampilkan emosi secara adaptif adalah yang lebih sehat sebagai cara mengendalikan emosi itu sendiri.

Sumber Tulisan:

Yeti Widiati 020116

[/nextpage]

Loading...
Tinggalkan komentar