Solusi Atasi Trauma Tindakan Medis pada Anak
Saya yakin pasti hampir semua orang tua pernah melihat di rumah sakit / tempat praktek dokter para anak-anak kecil yang menjerit, meronta, menangis atau level paling ringan, menolak ketika mau masuk ke ruang praktek dokter, yang disebut sebagai trauma terhadap tindakan medis.
Atau mungkin anak-anak yang selalu / sering begini? Bahkan seorang teman yang anaknya pasca menjalani operasi mengalami trauma cukup lama. Been there done that too… Anak pertama saya, Yusuf, sejak dilahirkan karena berbagai penyakitnya (bukan karena penyakit common problems seperti batuk pilek diare lho ya) “langganan” tinggal di rumah sakit (saya pakai kata tinggal karena lama ya bukan 1-2 hari saja.
Bahkan beberapa tindakan medis yang menyakitkan dilakukan tanpa bius (seperti proses barium enema), hancur hati mendengar jeritan tangisnya, melihat kaki tangan Yusuf (yang saat itu berusia 10 bulan) diikat dan melalui anusnya dimasukkan peralatan dan cairan barium.
Istilah Medical traumatic stress pada anak-anak mengacu pada sekumpulan respon psikologis dan fisiologis yang ditunjukkan oleh anak-anak dan juga keluarganya karena rasa sakit, cedera, penyakit berat/serius, prosedur/tindakan medis, dan pengalaman terapi yang invasive / menakutkan.
Intensitasnya bervariasi, dan tidak boleh dibiarkan ya. Orang tua sangat penting untuk dapat mengetahui perubahan perilaku dan emosi anak sekecil apapun seperti kembali suka menghisap jari kembali sebagai cara mereka “bertahan” menghadapi trauma.
National Child Traumatic Stress Network memberi daftar beberapa jenis respon terhadap trauma, yang diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Gangguan tidur seperti : Sulit tertidur, mudah terbangun, mimpi buruk, takut akan kegelapan
2. Gangguan makan seperti : hilang nafsu makan atau kebalikannya tidak pernah merasa kenyang
3. Masalah bak-bab (padahal sudah lulus toilet training) seperti : sering mengompol, tidak dapat mengontrol bak, sembelit
4. Masalah perilaku pada anak usia kurang dari 5 tahun : sering tantrum berat, agresif dan sering menyakiti anak lain, mudah frustasi, tidak mau berkomunikasi, separation anxiety, tidak mau ditinggal sendiri. Pada anak yang lebih besar (usia sekolah), dapat mempengaruhi hubungan sosial dengan teman, sulit berkonsentrasi dan mengikuti kegiatan belajar.
Orang tua , seperti yang telah saya sebut di atas, perlu segera mengenali tanda-tanda trauma tersebut dan membantu anak mengatasinya, bila tidak mampu, cari bantuan !
Beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu anak atasi trauma:
1. Berbicara dengan anak dari hati ke hati, jadilah pendengar yang baik tapi tidak memaksa anak untuk berbicara apa perasaannya, apa yang ditakutkannya.
Bila relasi emosi dengan anak baik, maka tanpa diminta, anak yang akan “curhat”. Nah kalau anak yang masih kecil yang belum lancar berbicara bagaimana? Kembali ke seberapa baik relasi emosi anak dengan kita. Yakinkan anak bahwa kita ada bersama mereka baik secara fisik maupun emosi. Tanpa bicara pun anak dapat merasakan kehadiran kita secara emosi dan kebalikannya walau kita ada di samping anak tapi anak bisa merasakan apakah secara emosi kita ada untuk anak.
Pasca operasi ususnya yang cacat, Yusuf belum bisa bicara, hanya menangis, menjerit yang bisa dilakukannya, yang saya lakukan memeluk, menggendong, sekali2 bilang “ iya, sakit ya sayang, saya ucapkan doa, dan sekali2 ikut menangis.
Ketika anak semakin besar, hal yang paling tabu saya lakukan adalah : berbohong pada anak mengenai apa yang akan dialaminya saat bertemu dokter. Seringkah Smart parents dengar orang tua yang bilang : gak sakit kok Nak, lha padahal prosedurnya sakit kok, siapa bilang disuntik / diambil darah (-misalnya) gak sakit –sama sekali-?
Jadi seiring anak-anak saya masuk usia toddler hingga TK, jauh-jauh hari saya sudah informasikan jadwal kunjungan ke dokter, apa yang akan dilakukan bersama dokter, apa manfaat nya, dan katakan misalnya : di sana akan disuntik ya, ingat kan rasanya disuntik? Gak terlalu sakit, sakit / sakit banget? Disuntik Cuma sebentar banget, beberapa detik aja, habis itu biasanya dikasih Lolipop/stiker yah sama Om/Tante/Kakek dokter. Boleh nangis lho, tapi kalau nangis dan jeritnya sebelum disuntik, malah lebih sakit nanti dan lebih susah Om/Kakek dokter nyuntiknya.
Tapi untuk prosedur medis emergency ya tentu tidak ada waktu menjelaskan hal-hal di atas ya.
Dan orangtua atau siapapun yg mendampingi anak saat anak menerima tindakan medis berusahalah tetap tenang, kalau tidak sanggup mengendalikan emosi minta orang lain yg dampingi.
2. Bantu anak hadapi ketakutan, perasaan cemas hingga perasaan marahnya.
Perasaan-perasaan trauma tersebut bukan dimatikan / dihilangkan, tapi disalurkan dengan cara diekspresikan. Caranya tentu sesuai usia dan minat anak. Untuk anak-anak yang lebih kecil perlu kejelian orang tua memilih berbagai aktivitas, untuk anak-anak yang sudah masuk usia sekolah tentu lebih mudah mencari alternative kegiatannya.
Yang paling umum untuk anak-anak yang lebih kecil misalnya menggambar, bermain, berolahraga bersama (bersepeda, berenang, jalan kaki). Ajak juga anak bermain di udara terbuka dengan suasana yang menenangkan dan menyenangkan.
3. Ciptakan rutinitas
Dengan rutinitas, anak-anak segera menyadari bahwa kehidupan sudah kembali normal. Bila sempat berhenti sekolah selama sakit, maka ketika kembali sekolah dan rutinitas normal anak perlahan dapat mengatasi rasa trauma nya. Tapi tetap dipantau perilaku anak selama di kelas dan saat berinteraksi dengan teman-temannya.
4. Relaksasi
Jangan dikira hanya orang dewasa yang lagi stress saja yang perlu relaksasi, anak-anak juga perlu lho. Beberapa yang bisa dicoba seperti memijat lembut anak, berendam air hangat.
Sebagai penutup, jangan bertahan tidak mencari bantuan dari ahli (seperti psikolog) bila anak sudah menunjukkan tanda-tanda trauma, depresi makin berat. Ingat, Ibu tidak selalu jadi superhero dan superwoman yang harus selalu dapat menyelesaikan semua masalah dengan anak-anak ya..
Sumber Tulisan:
Bunda Fatimah Berliana Monika Purba